Kepada Perempuan yang akan Melahirkan Purnama
Malam telah menua ketika aku menuliskan catatan ini untukmu. Aku duduk di pertengahan malam memandangi layar laptop, berusaha merenung.
Merenungkan tentangmu dan juga calon purnama yang sedikit lagi akan menambah indahnya rumah kita. Saat yang bersamaan aku pun ingat awal perjuangan kita dalam membangun keluarga.
Kau pasti ingat. Sejak pernikahan pada april tahun lalu, kita memilih untuk hidup terpisah dari kedua orangtua. Tidak di rumahku, tidak pula di rumahmu.
Ini sebuah pilihan yang kemudian kita jalani bersama. Katamu, “Kalau kita hidup dengan orangtua, kapan bisa mandiri? Susah senang, hanya kita yang tahu, meskipun masih menumpang di perumahan negara.”
Waktu itu aku hanya bisa mengiyakan. Mengingat pekerjaanku juga belum menetap. Aku menurut saja saranmu.
Bulan berlari begitu cepat hingga mencapai angka dua tahun. Di saat bersamaan, kau juga sedang mengandung anakku yang berusia delapan bulan. Aku tentu bahagia akan hal itu. Namun, jauh sebelumnya, kau telah mendukungku untuk melanjutkan studi S2.
Sehingga di waktu yang bersamaan aku pun diperhadapkan pada pilihan yang sulit. Ketika melanjutkan studi, itu artinya kau akan menjadi titik tumpu hidup anak kita. Aku bisa saja jauh darimu, juga jauh dari purnama yang kau rawat nantinya.
Meskipun kau sendiri sering bercanda, bahwa berjauhan tak masalah bagimu. Asalkan aku mengirimi biaya susu anak kita. Tak tanggung-tanggung kau bercanda, “Wajib 1 juta per bulan kirim kamari!”
Aku sendiri berharap bisa mengirimkan lebih. Tapi menurutku ini bukan soal angka rupiah yang akan dikirimkan.
Tapi waktu untuk membersamai kalian berdua; kau dan purnama kita. Soal uang, alhamdulillah kita bisa tutupi, tetapi waktu bersama dalam menimang purnama kita itu yang menjadi beban pikiranku selama ini. Kau selalu mendorong bahwa aku harus melanjutkan pendidikan.
“Kau ini pintar. Rugi tidak sekolah lagi!” katamu dulu.
Aku sendiri tidak takin, apakah aku sepintar itu dalam bayanganmu. Sedang aku hanya merasa bahwa aku hanyalah seorang yang punya hobi belajar. Menyenangi hal yang beraroma kesusastraan. Itu saja, tidak lebih. Mungkin kau berlebihan menyemangati suamimu ini.
Meski pun begitu rumit nantinya, kau tetap memilih berpikir untuk mendidik purnama kita sendirian. Kau memperlihatkan bahwa kau sendiri bisa menjalani hari-hari selanjutnya tanpaku.
Itu memang pilihan yang tidak mudah. Tetapi, kau terus mendukungku untuk melanjutkan studi.
Seperti suatu malam ketika kita berdebat soal ini. Aku putuskan untuk tidak berangkat ke Makassar karena menimbang kau telah hamil.
Malam itu aku menangis seolah anak kecil yang kehilangan permen. Aku merasa tak bisa studi kalau kau sedang hamil. Akan tetapi, kau malah menabrakku dengan sebuah alasan.
“Kau ini skolah bukan untuk dirimu. Skolah itu untuk anakmu. Kalau cuman kita berdua, so boleh. Rejeki yang ada so cukup. Insya Allah. Tapi ini demi torang pe anak!” sambil kau meraih tanganku dan meletakkanya di atas perutmu yang telah membesar.
Hati ini luruh juga hingga aku menurut saja apa yang menjadi putusanmu. Besoknya aku pun berangkat ke Makassar untuk ikut seleksi wawancara di gedung kementerian keuangan. Uang pemberianmu sengaja tak aku habiskan berbelanja.
Demi menghemat biaya hidup, aku memilih menumpang di masjid. Berbuka di masjid dan sahur dengan sepotong roti yang kubeli di warung di depan kantor. Selama tiga hari berkutat dengan urusan seleksi beasiswa LPDP, yang pada akhir juni kemarin aku dinyatakan lulus beasiswa.
Kebahagiaan pun memayungi hati kita berdua ketika itu. Bahkan aku segera berlari ke dapur, memelukmu penuh bahagia ketika sedang asiknya memasak.
Kugenggam tanganmu dan mengatakan kalau diriku lulus subtansi Beasiswa LPDP Kementerian keuangan. Siap-siap kuliah. Kau ikut bahagia. Kau segera kabari sanak keluargamu.
Tak habis sampai di situ. Setelah lulusnya beasiswa, ternyata aku semakin dilema. Apalagi Kondisi kehamilanmu semakin mendekati kelahiran. Saat yang sama pula, keberangkatan untuk program beasiswa semakin dekat.
Kita terus berdiskusi bagaimana nanti menjawab pertanyaan mertua. Nanti kesannya aku begitu egois, lebih mementingkan studi ketimbang membersamaimu di saat kau butuh pendamping dalam membesarkan purnama kita.
Teman-teman sesama guru juga menanyakan hal yang sama. Apakah kau akan baik-baik saja ketika suamimu ini pergi belajar lagi.
Kau hanya bisa tersenyum dan berkata, “Insya Allah, saya sih biasa saja!”
Aku yakin itu berat. Tapi aku terus mengingatkan bahwa studi ini untuk masa depan kita.
Jauh sebelum ini terjadi, sebenarnya ini sudah terbayangkan dalam pikiranku, bahwa kau akan melewati hari-hari yang sulit.
Kau akan jauh dari suamimu ini, juga jauh dari keluargamu. Ditambah lagi harus merawat purnama kita. Aku sudah membayangkan itu. Sulit pastinya.
Namun, dibalik itu semua, kau yakinkan aku bahwa kau bukanlah perempuan biasa seperti halnya perempuan kebanyakan di dunia ini. Kau perempuan tangguh, perempuan yang mampu berdiri di kaki sendiri.
Sehingganya, ketika kau menuntunku untuk melanjutkan studi, aku pun mengamininya. Seperti nasihatmu, “Skolah ini bukan untumu, tapi untuk keluarga kecil kita.”
Mengingat kata-katamu itu aku semakin yakin bahwa perjalanan studi ini semata-mata bukan hanya karena memuaskan batin. Tapi lebih kepada memperjuangkan nasib keluarga kecil kita nanti. Aku pun meyakini hal itu.
Olehnya itu, aku ingin berpesan.
Kepadamu, perempuan yang akan melahirkan purnama, mohon untuk tetap tegar. Perpisahan yang akan kita jalani memang akan menguras tenaga dan pikiran.
Tetapi, kuyakin, perpisahan sementara waktu akan mengajarkan kita banyak hal. Termasuk cara merindukanmu.
SELAMAT MILAD ISTRIKU : SUNARTI