Kisah Anak Nelayan Meraih Sarjana
Tahun 2004, adalah masa kegelapan bagi anak itu. Dia tak lagi bisa menjaga mimpinya agar tetap abadi. Sebab, statusnya sudah kutukan, menjadi nelayan seumur hidup. "Tidak ada satu pun keluarga kita yang berpendidikan. Semuanya nelayan. Buat apa ngana mo sekolah?" begitu dulu ayahnya mengingkari nasibnya.
Anak itu hanya bisa tersenyum. Gemuruh mimpinya tetap beriak di dalam sanubarinya. Dia tetap menguat-nguatkan diri, mempertebal harapan dan imannya, dengan subuah azzam yang kuat :
"Jika takdir saya lagi baik, pasti tidak ada alasan untuk Tuhan menutup jalan perjuangan saya." bisik anak itu dalam hati.
Menjadi Nelayan. Setahun berlalu anak itu sudah seperti Gembel. Wajahnya hangus terbakar terik matahari, alis matanya memudar, rambutnya makin keriting dan kusam, hidungnya kempis,dan wajahnya semakin tirus. Begitulah anak nelayan, sulit nampaknya punya badan gemuk nan sehat.
Sebelumnya, anak itu pernah menempuh studi di sekolah Menengah Pertama di Tilamuta. Karena ekonomi keluarganya sedang terpuruk, suka atau tidak, dia pun harus menopang keluarga dengan menjadi nelayan. Sejak itu, lupalah dia soal bangku sekolah, soal mimpi dan harapan, soal masa depan yang hanya menjadi khayalan.
Tapi, sekali lagi. Status nelayan tak lantas meniup mati lentera hatinya, juga mimpinya. Dia tangkupi lentera mimpi itu, dia jaga agar tetap bersinar, hingga Allah kemudian memberinya cahaya yang tak disangka-sangka.
Seorang guru Sekolah Dasar menawarinya untuk melanjutkan studi, di Madrasah Tsanawiyah Negeri Tilamuta. Dia ditawari beasiswa Retrival, yakni beasiswa untuk anak-anak putus sekolah. Dengan jaminan, akan disekolahkan hingga tamat, gratis semuanya: seragam, buku, tas, sepatu hingga karet penghapus. Semuanya lengkap, dan sedia otak untuk belajar.
Hati anak itu kembali mekar. Tadinya sempat melayu selama setahun. kini dia kembali bersemi. Dia tangkap peluang itu. Dia menghiba pada kedua orang tuanya, bahwa dia ingin memutus mata rantai kemiskinan. Berjuang kembali.
Gayung pun bersambut, permohonannya dikabulkan kedua orang tuanya. Dia menempuh studi di Madrasah Tsanawiyah, dan tepat tahun 2007, anak itu menutaskan proses belajarnya dengan predikat membahagiakan. Berbagai prestasi diraih, hingga kabar itu menyeruak ke kampung. Si anak nelayan bisa juga bersekolah.
Tak sampai di situ, dia pun mulai bermain dadu nasib, melanjutkan pendidikan ke jenjang Madrasah Aliyah Negeri Tilamuta. Sebab, disanalah hatinya terpaut. Dia ingin mendalami ilmu agama. Kelak, di kemudian hari tak bisa kuliah, sedikitnya dia bisa menjadi Imam, atau khotib kampung. Begitulah pikirannya.
Lagi-lagi, jalan mimpinya dimudahkan. Modal 10 ribu rupiah, dia bisa tercatat resmi menjadi santri di Madrasah Aliyah. Selama 2 tahun dia berhasil menduduki posisi Osis : Satu tahun menjadi Sekretaris dan satu tahunya menjadi Ketua. Hal ini kemudian membuat kepala Madrasah mengratiskan biaya sekolahnya selama dua tahun pula. Pada tahun 2010, dia pun tuntas belajar dari Madrasah Aliyah.
Mimpi kuliah semakin melangit dan membiru di hatinya. Apa mau dikata. Maksud hati ingin memeluk bulan, sayang tangan tak sampai. Kira-kira itulah pepatah yang sepadan dengan nasibnya kala itu.
Jangankan untuk kuliah, makan sehari-hari saja keluarganya sudah tenggelam dalam pilu nan haru. Kadang keluarganya sarapan dengan pepaya, makan siang dengan pepaya, dan makan malamnya juga dengan pepaya. Ya, kondisi itu pernaah terjadi pada keluarga kecil itu, di musim timur, dimana ombak sedang mengamuk. Nelayan ketika itu sungguh tak bisa melaut. Terasa rejeki mereka ditutup rapat.
Alhasil, cara satu-satunya bertahan hidup, satu keluarga itu, adalah makan pepaya yang hidup tak sengaja di kebun belakang rumah kecil. Meskipun demikian, tak pernah hati mereka meratap-ratap ingin dikasihani. Sebab, harta boleh tak punya, tapi harga diri adalah perhiasan satu-satunya yang dijunjung tinggi oleh keluarga kecil itu.
"Tak baik menghinakan diri. Meratap itu adalah mengingkari nasib." Mungkin begitu kata yang tepat untuk ditempelkan pada prinsip hidup mereka.
Tahun 2010, anak itu meluruskan niat. Dia utarakan mimpinya untuk kuliah. Diajaknya keluarga bermusyawarah. Duduk sejajar, serapat, guna saling junjung satu sama lain. Keluarga ternyata tak bisa jadi harapan.
Sampai pada satu putusan, demi mimpi kuliah, lemari satu-satunya milik keluarga harus melayang. Tak ada lagi benda berharga di rumah, selain jala ikan dan mesin katintin. Diskusi keluarga pun semakin meruncing.
"Kalau mo jual mesin, didu'u pohongi. Wanu bo lamari, debo ogandia. Lebe baye lamari upotaliya. " begitu nasehat ayahnya.
Lemari itu pun dijual seharga 750 ribu. Apakah itu bisa mengantarkan kuliah? tak ada dalam pikirannya untuk mundur, apalagi mau memenjarakan cita-citanya. Dia berangkat ke kampus, bermodalkan niat belajar.
"Kalau memang tidak bisa kuliah, setidaknya sebelum saya mati, saya sudah pernah dapa lihat itu kota dan Universitas Negeri Gorontalo. " Rutuknya.
Setelah mengikuti seleksi sebagaimana mestinya, diputuskan pembayaran uang kuliah awal 5,7 juta. Mana punya dia uang sebanyak itu. Kalau sebutan ratusan ribu, barulah dia punya. Wajah anak itu itu kembali murung, meredup.
Kabar itu datang juga. Dia mendapatkan informasi, dia lolos beasiswa S1 Putra Bidik Misi angkatan pertama (2010). Wajah anak itu spontan berkilat cahaya lagi. Hatinya berdebar mendendangkan syukur. Ia kabari ibu bapak, keluarga.
Pulang kampung, anak ini menjadi buah bibir. Tak disangka, anak yang lahir dari rahim nelayan kini bisa kuliah. Dan hari ini, pada Selasa, 16 juni 2015, anak itu meraih gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.
Kawan....! Anak itu adalah aku kawan. Aku dan segala jejak mimpi yang kulewati. Jika aku dari kalangan nelayan, bagaimana denganmu? Mengapa kau masih saja ragu akan mimpimu? Jangan nelangsa sepanjang masa.
Mari kita kutip pendapat mas Gegge Mappangewa :
"Berilah mimpimu makan, kasih gizi yang cukup, asupan nutrisi yang baik. Suatu saat, percayalah, mimpi itu yang akan memberimu makan. "
Ini kisahku kawan, si anak nelayan : Idrus Dama, S.Pd
Anak itu hanya bisa tersenyum. Gemuruh mimpinya tetap beriak di dalam sanubarinya. Dia tetap menguat-nguatkan diri, mempertebal harapan dan imannya, dengan subuah azzam yang kuat :
"Jika takdir saya lagi baik, pasti tidak ada alasan untuk Tuhan menutup jalan perjuangan saya." bisik anak itu dalam hati.
Menjadi Nelayan. Setahun berlalu anak itu sudah seperti Gembel. Wajahnya hangus terbakar terik matahari, alis matanya memudar, rambutnya makin keriting dan kusam, hidungnya kempis,dan wajahnya semakin tirus. Begitulah anak nelayan, sulit nampaknya punya badan gemuk nan sehat.
Sebelumnya, anak itu pernah menempuh studi di sekolah Menengah Pertama di Tilamuta. Karena ekonomi keluarganya sedang terpuruk, suka atau tidak, dia pun harus menopang keluarga dengan menjadi nelayan. Sejak itu, lupalah dia soal bangku sekolah, soal mimpi dan harapan, soal masa depan yang hanya menjadi khayalan.
Tapi, sekali lagi. Status nelayan tak lantas meniup mati lentera hatinya, juga mimpinya. Dia tangkupi lentera mimpi itu, dia jaga agar tetap bersinar, hingga Allah kemudian memberinya cahaya yang tak disangka-sangka.
Seorang guru Sekolah Dasar menawarinya untuk melanjutkan studi, di Madrasah Tsanawiyah Negeri Tilamuta. Dia ditawari beasiswa Retrival, yakni beasiswa untuk anak-anak putus sekolah. Dengan jaminan, akan disekolahkan hingga tamat, gratis semuanya: seragam, buku, tas, sepatu hingga karet penghapus. Semuanya lengkap, dan sedia otak untuk belajar.
Hati anak itu kembali mekar. Tadinya sempat melayu selama setahun. kini dia kembali bersemi. Dia tangkap peluang itu. Dia menghiba pada kedua orang tuanya, bahwa dia ingin memutus mata rantai kemiskinan. Berjuang kembali.
Gayung pun bersambut, permohonannya dikabulkan kedua orang tuanya. Dia menempuh studi di Madrasah Tsanawiyah, dan tepat tahun 2007, anak itu menutaskan proses belajarnya dengan predikat membahagiakan. Berbagai prestasi diraih, hingga kabar itu menyeruak ke kampung. Si anak nelayan bisa juga bersekolah.
Tak sampai di situ, dia pun mulai bermain dadu nasib, melanjutkan pendidikan ke jenjang Madrasah Aliyah Negeri Tilamuta. Sebab, disanalah hatinya terpaut. Dia ingin mendalami ilmu agama. Kelak, di kemudian hari tak bisa kuliah, sedikitnya dia bisa menjadi Imam, atau khotib kampung. Begitulah pikirannya.
Lagi-lagi, jalan mimpinya dimudahkan. Modal 10 ribu rupiah, dia bisa tercatat resmi menjadi santri di Madrasah Aliyah. Selama 2 tahun dia berhasil menduduki posisi Osis : Satu tahun menjadi Sekretaris dan satu tahunya menjadi Ketua. Hal ini kemudian membuat kepala Madrasah mengratiskan biaya sekolahnya selama dua tahun pula. Pada tahun 2010, dia pun tuntas belajar dari Madrasah Aliyah.
Mimpi kuliah semakin melangit dan membiru di hatinya. Apa mau dikata. Maksud hati ingin memeluk bulan, sayang tangan tak sampai. Kira-kira itulah pepatah yang sepadan dengan nasibnya kala itu.
Jangankan untuk kuliah, makan sehari-hari saja keluarganya sudah tenggelam dalam pilu nan haru. Kadang keluarganya sarapan dengan pepaya, makan siang dengan pepaya, dan makan malamnya juga dengan pepaya. Ya, kondisi itu pernaah terjadi pada keluarga kecil itu, di musim timur, dimana ombak sedang mengamuk. Nelayan ketika itu sungguh tak bisa melaut. Terasa rejeki mereka ditutup rapat.
Alhasil, cara satu-satunya bertahan hidup, satu keluarga itu, adalah makan pepaya yang hidup tak sengaja di kebun belakang rumah kecil. Meskipun demikian, tak pernah hati mereka meratap-ratap ingin dikasihani. Sebab, harta boleh tak punya, tapi harga diri adalah perhiasan satu-satunya yang dijunjung tinggi oleh keluarga kecil itu.
"Tak baik menghinakan diri. Meratap itu adalah mengingkari nasib." Mungkin begitu kata yang tepat untuk ditempelkan pada prinsip hidup mereka.
Tahun 2010, anak itu meluruskan niat. Dia utarakan mimpinya untuk kuliah. Diajaknya keluarga bermusyawarah. Duduk sejajar, serapat, guna saling junjung satu sama lain. Keluarga ternyata tak bisa jadi harapan.
Sampai pada satu putusan, demi mimpi kuliah, lemari satu-satunya milik keluarga harus melayang. Tak ada lagi benda berharga di rumah, selain jala ikan dan mesin katintin. Diskusi keluarga pun semakin meruncing.
"Kalau mo jual mesin, didu'u pohongi. Wanu bo lamari, debo ogandia. Lebe baye lamari upotaliya. " begitu nasehat ayahnya.
Lemari itu pun dijual seharga 750 ribu. Apakah itu bisa mengantarkan kuliah? tak ada dalam pikirannya untuk mundur, apalagi mau memenjarakan cita-citanya. Dia berangkat ke kampus, bermodalkan niat belajar.
"Kalau memang tidak bisa kuliah, setidaknya sebelum saya mati, saya sudah pernah dapa lihat itu kota dan Universitas Negeri Gorontalo. " Rutuknya.
Setelah mengikuti seleksi sebagaimana mestinya, diputuskan pembayaran uang kuliah awal 5,7 juta. Mana punya dia uang sebanyak itu. Kalau sebutan ratusan ribu, barulah dia punya. Wajah anak itu itu kembali murung, meredup.
Kabar itu datang juga. Dia mendapatkan informasi, dia lolos beasiswa S1 Putra Bidik Misi angkatan pertama (2010). Wajah anak itu spontan berkilat cahaya lagi. Hatinya berdebar mendendangkan syukur. Ia kabari ibu bapak, keluarga.
Pulang kampung, anak ini menjadi buah bibir. Tak disangka, anak yang lahir dari rahim nelayan kini bisa kuliah. Dan hari ini, pada Selasa, 16 juni 2015, anak itu meraih gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.
Kawan....! Anak itu adalah aku kawan. Aku dan segala jejak mimpi yang kulewati. Jika aku dari kalangan nelayan, bagaimana denganmu? Mengapa kau masih saja ragu akan mimpimu? Jangan nelangsa sepanjang masa.
Mari kita kutip pendapat mas Gegge Mappangewa :
"Berilah mimpimu makan, kasih gizi yang cukup, asupan nutrisi yang baik. Suatu saat, percayalah, mimpi itu yang akan memberimu makan. "
Ini kisahku kawan, si anak nelayan : Idrus Dama, S.Pd